Kegagalan Sistem Pendidikan Asia
Senin, 20 November 2017
Edit
Pada edisi 26 Maret 2010, salah satu jurnal sains paling bergengsi di dunia, Science, memuat sebuah artikel singkat berjudul “Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity”, yang ditulis oleh William K. Lim dari Universiti Malaysia Sarawak. Dituturkannya bahwa meskipun semenjak bertahun-tahun kemudian Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya ialah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak bisa mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.
Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang mempunyai skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya sebab persyaratan masuk ke banyak sekali institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang mempunyai skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi semoga siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jikalau kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia sebab keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.
Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua di Asia lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran suplemen di luar sekolah semenjak usia dini. Di Singapura, pada tahun 2008, sejumlah 97 dari 100 pelajar mengikuti les suplemen pelajaran di banyak sekali institusi persiapan tes (baca: Lembaga Bimbingan Belajar). Pada tahun 2009, industri persiapan tes di Korea Selatan bernilai 16,3 Miliar US$ atau setara dengan 146,7 triliun rupiah. Jumlah itu kira-kira senilai 36% dari anggaran pemerintah untuk dunia pendidikan di negeri ginseng.
Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar Asia hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali dikala ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu ialah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat diperlukan dalam penemuan-penemuan ilmiah. Dalam artikelnya, William K. Lim menyatakan bahwa para mahasiswa yang ditemuinya lemah dalam melihat hubungan-hubungan dalam banyak sekali literatur, menciptakan kemungkinan-kemungkinan ide-ide, dan menyusun banyak sekali hipotesis. Padahal, mereka ialah para peraih skor-tes tertinggi. Hal itu menunjukan kalau sistem pendidikan Asia tidak melahirkan bakat saintifik.
Benar bahwa dalam banyak sekali ujian, para pelajar Asia “selalu” mempunyai skor-tes lebih baik dari para pelajar Eropa Barat dan Amerika Utara berkat pendidikannya yang berorientasi skor-tes. Akan tetapi ketika bicara soal kreativitas dan kualitas hasil penelitian, para pelajar Asia jauh tertinggal. Sebagai akibatnya, sangat sedikit ilmuwan berkelas yang dihasilkan Asia. Mayoritas ilmuwan kelas dunia dari negara-negara Asia pun biasanya dididik dalam pendidikan Eropa/Amerika, bukan dalam iklim pendidikan Asia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa para pemenang olimpiade sains dunia (fisika, sains, biologi, dan lainnya) mayoritas berasal dari Asia. Indonesia sendiri telah berkali-kali mempunyai para juara. Akan tetapi mereka merupakan hasil penggodokan khusus oleh tim khusus olimpiade sains. Mereka bukan hasil alami iklim pendidikan ibarat biasa. Jadi, fenomena itu sama sekali tak mengindikasikan keberhasilan sistem pendidikan di Asia. Faktanya, meskipun mendominasi kejuaraan, Asia tak kunjung melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Jumlah ilmuwan yang terlahir dari Eropa/Amerika sangat timpang jauhnya dibandingkan dari Asia.
Bukti kegagalan sistem pendidikan Asia dalam menelurkan bakat saintifik berlimpah ruah. Benar bahwa Asia, terutama Asia Timur, digambarkan besar lengan berkuasa dalam menyerap pengetahuan yang ada dan dalam mengadaptasi teknologi yang sudah ada (maklum, mereka canggih dalam mengingat). Akan tetapi Asia gagal menciptakan bantuan asli terhadap ilmu-ilmu dasar. Hingga sekarang tidak ada temuan-temuan ilmiah berarti dari Asia. Kemajuan besar dalam sains dan teknologi yang digapai negeri-negeri Asia tidak ada yang merupakan karya asli Asia: nyaris semuanya merupakan pembiasaan teknologi dari negeri-negeri barat. Padahal, negeri-negeri barat sempat cemas dengan besarnya investasi negara-negara Asia terhadap dunia pendidikan yang jumlahnya jauh melebihi investasi mereka. Dikuatirkan mereka bakal terkejar dan lantas tertinggal dari Asia dalam satu atau dua dekade saja. Akan tetapi, ternyata mereka tak perlu risau lagi. Investasi pendidikan besar-besaran negara-negara Asia telah gagal sebab kesalahan Negara-negara itu dalam membangun budaya pendidikannya. Kini, Asia tetap tertinggal di belakang.
Indonesia agaknya tidak berguru dari kegagalan investasi pendidikan di negara-negara Asia lain. Pendidikan Indonesia dikala ini ikut-ikutan berorientasi pada skor-tes. Konkretnya, skor-tes dikala ujian nasional menjadi syarat mutlak kelulusan. Lantas, di mana-mana di banyak sekali sekolah di seluruh penjuru negeri, orientasi pengajarannya hanya semoga para penerima didiknya berhasil melewati ujian nasional. Bulan-bulan menjelang ujian, banyak sekali mata pelajaran yang tidak diujiankan akan dihapus dari jadwal. Latihan tes ditekankan. Berbagai les diselenggarakan. Maklum, sekolah akan dianggap gagal jikalau tidak berhasil meluluskan siswa-siswanya dalam ujian nasional. Para politisi pun beramai-ramai memanasi suasana dengan ‘memaksa’ para sekolah di wilayahnya untuk bisa meluluskan siswa-siswanya, apapun caranya. Sebab, skor-tes ujian nasional di suatu tempat juga menjadi gambaran tempat itu. Lantas tak mengherankan jikalau muncul banyak sekali macam kecurangan untuk mengatrol nilai para siswa semoga bisa lulus ujian.
Pendidikan yang berorientasi skor-tes menjadi berkah tersendiri bagi industri persiapan tes. Industri itu akan menjadi industri pendidikan yang paling menjanjikan. Potensinya luar biasa besar. Dengan jumlah pelajar yang hanya kurang dari 20% dari jumlah pelajar di Indonesia, industri persiapan tes di Korea Selatan telah menuai kapitalisasi senilai 146,7 triliun rupiah. Bayangkan besarnya potensi pasar industri persiapan tes di Indonesia, potensinya bisa diduga ratusan triliun rupiah. Anda tertarik?
Buah yang akan dituai dari budaya pendidikan berorientasi skor-tes sangat jelas, ibarat ditunjukkan negara-negara Asia lain yang telah gagal: ketidakmampuan menghasilkan ilmuwan. Maka, selamanya, selama budaya pendidikan itu tak diubah, Indonesia tak akan pernah bisa menjadi penggagas di bidang sains dan teknologi. Indonesia hanya akan menjadi pengekor karya ilmiah negeri-negeri lain, ibarat selama ini. Masih mending negara-negara Asia lain, ibarat Korea, Taiwan, China, Singapura dan Jepang yang bisa menciptakan pembiasaan teknologi sehingga memakmurkan negerinya. Sedangkan kita, mengadaptasi saja tak mampu, apalagi mencipta.
Agaknya pemerintah Indonesia tetap ‘kekeuh’ mempertahankan kebijakan pendidikan skor-tes itu dengan banyak sekali alasannya. Tapi, pertimbangkanlah ini: jikalau negeri-negeri semaju ibarat Korea, Jepang, Taiwan, Singapura saja telah dianggap gagal menelurkan para ilmuwan (dan dengan demikian gagal menjadi tuan di bidang sains dan teknologi) gara-gara budaya pendidikannya yang berorientasi skor-tes, masa sih kita harus menggandakan mereka?
Mengutip William K. Lim: “A radical trasformation of the educational culture must happen before homegrown Asian science can challenge Western technological dominance.”
Benar kata Tuan Lim, kita memerlukan transformasi radikal dalam pendidikan kita, atau kita akan terus menjadi negeri tak dianggap siapa-siapa.
Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang mempunyai skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya sebab persyaratan masuk ke banyak sekali institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang mempunyai skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi semoga siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jikalau kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia sebab keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.
Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua di Asia lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran suplemen di luar sekolah semenjak usia dini. Di Singapura, pada tahun 2008, sejumlah 97 dari 100 pelajar mengikuti les suplemen pelajaran di banyak sekali institusi persiapan tes (baca: Lembaga Bimbingan Belajar). Pada tahun 2009, industri persiapan tes di Korea Selatan bernilai 16,3 Miliar US$ atau setara dengan 146,7 triliun rupiah. Jumlah itu kira-kira senilai 36% dari anggaran pemerintah untuk dunia pendidikan di negeri ginseng.
Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar Asia hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali dikala ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu ialah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat diperlukan dalam penemuan-penemuan ilmiah. Dalam artikelnya, William K. Lim menyatakan bahwa para mahasiswa yang ditemuinya lemah dalam melihat hubungan-hubungan dalam banyak sekali literatur, menciptakan kemungkinan-kemungkinan ide-ide, dan menyusun banyak sekali hipotesis. Padahal, mereka ialah para peraih skor-tes tertinggi. Hal itu menunjukan kalau sistem pendidikan Asia tidak melahirkan bakat saintifik.
Benar bahwa dalam banyak sekali ujian, para pelajar Asia “selalu” mempunyai skor-tes lebih baik dari para pelajar Eropa Barat dan Amerika Utara berkat pendidikannya yang berorientasi skor-tes. Akan tetapi ketika bicara soal kreativitas dan kualitas hasil penelitian, para pelajar Asia jauh tertinggal. Sebagai akibatnya, sangat sedikit ilmuwan berkelas yang dihasilkan Asia. Mayoritas ilmuwan kelas dunia dari negara-negara Asia pun biasanya dididik dalam pendidikan Eropa/Amerika, bukan dalam iklim pendidikan Asia.
Tidak bisa dipungkiri bahwa para pemenang olimpiade sains dunia (fisika, sains, biologi, dan lainnya) mayoritas berasal dari Asia. Indonesia sendiri telah berkali-kali mempunyai para juara. Akan tetapi mereka merupakan hasil penggodokan khusus oleh tim khusus olimpiade sains. Mereka bukan hasil alami iklim pendidikan ibarat biasa. Jadi, fenomena itu sama sekali tak mengindikasikan keberhasilan sistem pendidikan di Asia. Faktanya, meskipun mendominasi kejuaraan, Asia tak kunjung melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Jumlah ilmuwan yang terlahir dari Eropa/Amerika sangat timpang jauhnya dibandingkan dari Asia.
Bukti kegagalan sistem pendidikan Asia dalam menelurkan bakat saintifik berlimpah ruah. Benar bahwa Asia, terutama Asia Timur, digambarkan besar lengan berkuasa dalam menyerap pengetahuan yang ada dan dalam mengadaptasi teknologi yang sudah ada (maklum, mereka canggih dalam mengingat). Akan tetapi Asia gagal menciptakan bantuan asli terhadap ilmu-ilmu dasar. Hingga sekarang tidak ada temuan-temuan ilmiah berarti dari Asia. Kemajuan besar dalam sains dan teknologi yang digapai negeri-negeri Asia tidak ada yang merupakan karya asli Asia: nyaris semuanya merupakan pembiasaan teknologi dari negeri-negeri barat. Padahal, negeri-negeri barat sempat cemas dengan besarnya investasi negara-negara Asia terhadap dunia pendidikan yang jumlahnya jauh melebihi investasi mereka. Dikuatirkan mereka bakal terkejar dan lantas tertinggal dari Asia dalam satu atau dua dekade saja. Akan tetapi, ternyata mereka tak perlu risau lagi. Investasi pendidikan besar-besaran negara-negara Asia telah gagal sebab kesalahan Negara-negara itu dalam membangun budaya pendidikannya. Kini, Asia tetap tertinggal di belakang.
Indonesia agaknya tidak berguru dari kegagalan investasi pendidikan di negara-negara Asia lain. Pendidikan Indonesia dikala ini ikut-ikutan berorientasi pada skor-tes. Konkretnya, skor-tes dikala ujian nasional menjadi syarat mutlak kelulusan. Lantas, di mana-mana di banyak sekali sekolah di seluruh penjuru negeri, orientasi pengajarannya hanya semoga para penerima didiknya berhasil melewati ujian nasional. Bulan-bulan menjelang ujian, banyak sekali mata pelajaran yang tidak diujiankan akan dihapus dari jadwal. Latihan tes ditekankan. Berbagai les diselenggarakan. Maklum, sekolah akan dianggap gagal jikalau tidak berhasil meluluskan siswa-siswanya dalam ujian nasional. Para politisi pun beramai-ramai memanasi suasana dengan ‘memaksa’ para sekolah di wilayahnya untuk bisa meluluskan siswa-siswanya, apapun caranya. Sebab, skor-tes ujian nasional di suatu tempat juga menjadi gambaran tempat itu. Lantas tak mengherankan jikalau muncul banyak sekali macam kecurangan untuk mengatrol nilai para siswa semoga bisa lulus ujian.
Pendidikan yang berorientasi skor-tes menjadi berkah tersendiri bagi industri persiapan tes. Industri itu akan menjadi industri pendidikan yang paling menjanjikan. Potensinya luar biasa besar. Dengan jumlah pelajar yang hanya kurang dari 20% dari jumlah pelajar di Indonesia, industri persiapan tes di Korea Selatan telah menuai kapitalisasi senilai 146,7 triliun rupiah. Bayangkan besarnya potensi pasar industri persiapan tes di Indonesia, potensinya bisa diduga ratusan triliun rupiah. Anda tertarik?
Buah yang akan dituai dari budaya pendidikan berorientasi skor-tes sangat jelas, ibarat ditunjukkan negara-negara Asia lain yang telah gagal: ketidakmampuan menghasilkan ilmuwan. Maka, selamanya, selama budaya pendidikan itu tak diubah, Indonesia tak akan pernah bisa menjadi penggagas di bidang sains dan teknologi. Indonesia hanya akan menjadi pengekor karya ilmiah negeri-negeri lain, ibarat selama ini. Masih mending negara-negara Asia lain, ibarat Korea, Taiwan, China, Singapura dan Jepang yang bisa menciptakan pembiasaan teknologi sehingga memakmurkan negerinya. Sedangkan kita, mengadaptasi saja tak mampu, apalagi mencipta.
Agaknya pemerintah Indonesia tetap ‘kekeuh’ mempertahankan kebijakan pendidikan skor-tes itu dengan banyak sekali alasannya. Tapi, pertimbangkanlah ini: jikalau negeri-negeri semaju ibarat Korea, Jepang, Taiwan, Singapura saja telah dianggap gagal menelurkan para ilmuwan (dan dengan demikian gagal menjadi tuan di bidang sains dan teknologi) gara-gara budaya pendidikannya yang berorientasi skor-tes, masa sih kita harus menggandakan mereka?
Mengutip William K. Lim: “A radical trasformation of the educational culture must happen before homegrown Asian science can challenge Western technological dominance.”
Benar kata Tuan Lim, kita memerlukan transformasi radikal dalam pendidikan kita, atau kita akan terus menjadi negeri tak dianggap siapa-siapa.
by: psikologi online
Berbagai Sumber