Menghapus Sistem Apartheid di Sekolah - foldersoal.com
Kamis, 02 Mei 2019
Edit
Pemisahan antara siswa "pintar dan bodoh" di sekolah adalah sebuah diskriminasi yang sewajarnya cukup membuat prihatin. |
Baca juga: Setiap Anak Terlahir Unik, Ini Ciri Anak Berbakat
Banyak didapati guru lebih menaruh perhatian kepada siswa yang dianggapnya pintar dengan alasan mampu menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Bahkan tidak ketinggalan pula sanjungan pun meluncur kepada siswa yang bersangkutan. Begitu sebaliknya, kepada anak yang kurang begitu memahami atas apa yang diajarkan cenderung dibiarkan tanpa diberi perhatian khusus. Lebih ekstrem lagi, guru mengeneralisasikan ketidakpahaman siswa di semua mata pelajaran dan menganggap siswa tersebut tidak memiliki potensi apapun.
Wajar memang, apabila seorang guru menaruh perhatian secara lebih kepada siswa yang mampu memahami materi pelajaran. Akan tetapi semestinya dibarengi pula dengan memberikan perhatian kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Lebih pentingnya ialah meyakini bahwa setiap siswa memiliki potensi atau bakat yang dapat berkembang untuk masa depannya.
Anggapan guru dengan penyematan pintar dan bodoh terhadap siswa-siswanya sangat umum terjadi hingga kini. Bukankah Allah SWT telah memberikan kelebihan pada setiap manusia dalam bidang tertentu?. Jika anggapan bodoh dan pintar terus tersemat dalam paradigma para pendidik di sekolah (guru), bukankah mengesampingkan fitrah manusia yang diberikan Sang Pencipta?.
Pertanyaan di atas agaknya perlu direnungkan dan dijawab oleh para guru dengan pendekatan spiritual. Anggapan pintar dan bodoh terhadap siswa dengan berdasar pada kemampuan penyerapan materi pelajaran di sekolah tanpa memandang pada aspek kausalitas (sebab akibat) sangatlah tidak pantas. Tanpa disadari pula, hal tersebut membunuh potensi yang terpendam pada diri siswa. Satu dari dua anggapan tersebut yang menjadi penekanan pada ruang tulisan ini adalah anggapan bodoh. Kata bodoh, seperti yang diketahui bersama adalah kata bernuansa negative yang disematkan lantaran ketidakbisaan. Akan tetapi, kata tersebut menurut penulis sangat tidak etis dipergunakan di dunia pendidikan yang sangat dihormati itu.
Ketidakpahaman seorang siswa terhadap suatu materi pelajaran bisa dikarenakan dua factor secara garis besar. Pertama, sangat mungkin guru yang mengajarnya menggunakan cara/metode yang memang tidak cocok bagi siswa yang bersangkutan. Guru yang mengajar suatu konsep materi dianggap terlalu sukar dipahami sehingga pemahamannya tidak masuk. Oleh karena itu, seorang guru memang selayaknya mampu memahami kondisi psikis siswa dalam belajar. Membuka ruang kesempatan untuk bertanya dengan pendekatan tertentu secara leluasa terhadap siswa sangat ditekankan. Apabila hal ini terjadi, tentunya guru tidak secara gegabah melayangkan ungkapan bodoh terhadap siswa secara gamblang.
Kedua, secara fitrah manusia memiliki kelebihan pada bidang tertentu. Hanya saja, kelebihan yang menjadi potensinya tidak terlejitkan. Sebagai contoh, ada seorang siswa yang kesulitan dalam pelajaran Matematika, namun ia memiliki kelebihan dalam pelajaran bahasa Indonesia. Potensi dalam bahasa Indonesia itulah yang perlu diapresiasi dan dihargai oleh guru. Ada pula yang kurang dalam bidang pelajaran yang menuntut kemampuan kognitif, namun memiliki potensi dalam bidang olahraga. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setiap siswa pasti memiliki kelebihan pada bidang tertentu.
Howard Gardner, seorang pakar psikologi dari Universitas Harvard, menyodorkan suatu teori yang dapat mengubah dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Gardner menemukan teori tersebut yang sekarang mulai dikenal yakni Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences). Sejatinya, setiap siswa memiliki kecerdasan pada bidangnya masing-masing. Kecerdasan yang dimaksud oleh Gardner terbagi menjadi sembilan bidang kecerdasan, yakni Musikal, Moral, Naturalis (Cerdas Alam), Intrapersonal (Cerdas Diri), Linguistik (Cerdas Bahasa), Interpersonal (Cerdas Bergaul), Spasial-Visual (Cerdas Gambar dan Ruang), Kinestetis (Cerdas Gerak) dan Matematis-Logis (Cerdas Angka dan Logika).
Baca juga: Teori Multiple Intelegensi (Kecerdasan Majemuk)
Teori tersebut di atas semestinya membuka kesadaran bagi para guru yang masih memasang paradigma anggapan siswa pintar dan bodoh. Munif Chatib (2013) lebih memandang, letak kesalahan guru dan atau sekolah terhadap siswanya ialah tidak memperhatikan potensi-potensi lain yang sekiranya terpendam pada diri siswa. Nilai kuantitas dari hasil tes atau ujian adalah patokan yang terlalu diagung-agungkan oleh kebanyakan sekolah dalam mengukur keberhasilan dalam belajar. Alhasil, angka seolah-olah menjadi buruan yang paling dicari oleh para pengenyam pendidikan. Tentulah hal tersebut mengkaburkan hakikat pendidikan itu sendiri.
Alangkah baiknya, apabila guru yang mendapati siswanya yang mengalami kesulitan terhadap suatu konsep materi pelajaran didekati dan diberi arahan serta mencoba mengenal psikisnya sehingga ditemukan karakter belajarnya. Perhatian yang demikian akan terjadi suatu kedekatan yang sangat mungkin siswa bersangkutan merasa terdorong meningkatkan belajarnya. Jikalau, siswa memang benar-benar mengalami kesulitan pada bidang pelajaran tertentu lantaran bukan bidang kecerdasannya, janganlah langsung mencap bodoh. Segenap guru di suatu sekolah selayaknya mencari bidang kecerdasan masing-masing siswanya. Terpenting ialah anggaplah semua siswa pintar sesuai dengan bidangnya. Jika paradigma demikian terbangun maka segera terwujud pendidikan yang berkualitas. Upaya untuk membangun bangsa agar lebih maju pun segera terwujud lewat pendidikan.
*) Ditulis oleh Usep Setyawan, S.Pd.I. Guru di SDIT Bina Anak Sholeh Cilacap Berbagai Sumber