Memukul Anak, Justru Sanggup Memicu Perilaku Agresif
Senin, 15 Mei 2017
Edit
Jika dulu memukul dianggap sebagai bab dari disiplin. Penelitian terkini membuktikan, perlakuan kasar orang bau tanah terhadap anak menyerupai memukul atau menampar dikala fase tumbuh kembang, terutama pada anak berusia tiga tahun, akan memicu prilaku agresif.
Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam journal Pediatrics menunjukkan, ketika anak berusia tiga tahun dan menerima perlakuan kasar, kemungkinan besar si kecil berprilaku bergairah dikala ia berusia lima tahun.
Salah seorang peneliti dari Tulane University’s School of Public Health and Tropical Medicine in New Orleans, Asisten professor ilmu kesehatan masyarakat, Catherin Taylor menyampaikan anak membutuhkan panduan dan disiplin.
Namun, orang bau tanah harus bertindak faktual dan menghindari kekerasan dikala mengajarkan anak berdisplin. “Hukuman fisik, menyerupai menampar atau memukul seharusnya dihindarkan, lantaran bakal berdampak panjang,” katanya menyerupai dikutip dari Healthday, baru-baru ini.
Secara terpisah, Psikiatri dari Texas A&M Health Science Center Round Rock campus, Kathryn J Kotrla beropini hasil riset pertanda perlunya tugas orang bau tanah untuk tetapkan rantai kriminalitas di masyarakat. Ia menilai, mengurangi penggunaan kekerasan ketika mendidik anak tingkat kekerasan dalam aneka macam bentuk di masyarakat sanggup ditanggulangi.
Sebelumnya, Taylor dan kolega melibatkan lebih dari 2.500 ibu yang ditanyakan perihal sejauh mana mereka menerapkan eksekusi fisk pada bawah umur mereka ketika berusia 3 tahun. Mereka juga ditanyakan perihal tingkat agresifitas anak ketika berusia 3 tahun.
Peneliti kemudian melihat latar belakang dari ibu yang terfokus pada kemungkinan ibu mengalami depresi dikala melahirkan, konsumsi alkohol dan kekerasan yang mungkin terjadi pada keluarga si ibu.
Hasilnya, 50% orang bau tanah tidak menerapkan eksekusi kepada bawah umur mereka sebelum riset berlangsung. Sekitar 27.9% dari ibu, satu atau dua kali menerapkan eksekusi fisik. Sedangkan sisanya 26.5 % dari ibu menerapkan eksekusi fisik lebih dari dua kali dalam bulan yang sama.
Hasil riset juga mencatat, bawah umur yang berusia 3 tahun yang mengalami eksekusi fisik dua kali atau lebih sebelum bulan riset berlangsung mengalami peningkatan tingkat agresifitas dikala si kecil berusia 5 tahun.
Sayangnya, peneliti mengakui, mereka tidak sanggup membuktikan alasannya dan tanggapan dari relasi antara ibu dan anak. Akan tetapi, peneliti meyakini pertanyaan itu sanggup terjawab dengan riset lanjutan dikemudian hari. “Kami paham betul, anak berguru dari apa yang dilakukan orang tuanya. Jadi, jikalau si kecil Anda pukul dengan alasan tertentu, artinya Anda mengajarkan mereka menjadi agresif,” tegas Taylor.
Ia menambahkan, apabila eksekusi fisik dijalankan secara berlebihan dengan alasan tertentu pula, maka tingginya tingkat stress si kecil akan berdampak pada perkembangan otak, emosional dan prilaku si kecil.
Strategi Efektif
Pendapat senada juga disampaikan Psikolog dari National Center for School Crisis and Bereavement, Robin Gurwitch. Menurutnya, hasil riset menegaskan hasil riset sebelumnya dimana eksekusi fisik pada usia dini berkaitan bersahabat dengan tingkat agresifitas anak dikemudian hari.
“Bagaimana kita membantu orang bau tanah untuk memperlihatkan taktik efektif ketimbang eksekusi fisik dan memang terdapat taktik yang lain, orang bau tanah hanya perlu menyebarkan segala kemungkinan,” katanya.
Kotrla menambahkan, riset terlihat menyarankan kepada pemerintah dan pembuat kebijakan untuk fokus membahas duduk kasus eksekusi fisik sebagai perjuangan mengurangi kekerasan di masyarakat melalui orang tua.
Terkait kekerasan pada anak, sejumlah organisasi termasuk American Academy of Pediatrics secara keras menentang eksekusi fisik pada anak. Dari catatan forum itu, 35%-90% orang bau tanah masih menerapkan eksekusi fisik pada bawah umur mereka.
Sumber : republika.